Bekerja bersama paska gempa Pidie
Rabu, 7 Desember 2016, gempa menghantam Pidie Jaya dini hari. Kekuatan gempa 6.5 skala Richter. Titik gempa berada 2 km di sebelah barat laut Pidie Jaya. Kejadian ini menelan korban tewas sebanyak 100 orang dan banyak rumah yang rusak berat hingga ringan. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana 100 orang korban terdiri dari 96 jiwa di Pidie Jaya, 2 orang di Kabupaten Bireuen, dan 2 orang di Kabupaten Pidie. Pada hari kedua setelah gempa, BNPB mendata bahwa 23.231 orang yang mengungsi, dengan rincian 10.029 di Pidie Jaya dan 13.202 pengungsi di Bireuen.
Saat kejadian gempa di Pidie Jaya, Aceh ini, Oxfam di Indonesia sudah tidak memiliki kantor di Aceh setelah operasi tsunami 2014. Sehingga ketika terjadi gempa, Oxfam menghubungi mitra-mitranya yang berlokasi paling dekat dengan Aceh, yaitu Medan, Sumatera Barat. Komunikasi pada hari pertama kejadian dirasakan cukup sulit karena padamnya listrik. Meskipun demikian, beberapa staf mitra Oxfam di Medan mengupayakan komunikasi dengan teman-teman lokal yang ada di Aceh, khususnya Pidie Jaya.
Respons Bersama
Sebuah konsorsium kebencanaan terbentuk ketika terjadi letusan gunung api Sinabung pada 2015. Nama konsorsium tersebut adalah Rumah Belajar Harmoni Kebencanaan atau lebih dikenal dengan RBHK. Konsorsium ini dibentuk Oxfam bersama mitra-mitranya untuk menjadi wadah belajar bersama dalam respons kebencanaan. Anggota dari RBHK ini adalah mitra-mitra Oxfam di Indonesia, yaitu Kelompok Kerja Sosial Perkotaan (KKSP), Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), CIS Timor, dan Aksara Yogyakarta.
Eko Unedo, Staf Divisi Kebencanaan KKSP, menceritakan bagaimana detik-detik awal ketika mendapat kabar tentang gempa yang menghantam Pidie Jaya. “Saya dan teman-teman KKSP di Medan mendapat kabar dari sosial media teman-teman yang berada di Aceh. Pada hari itu juga, KKSP segera mengadakan pertemuan terkait gempa dan berkoordinasi dengan kantor Oxfam di Jakarta sebelum memutuskan untuk melakukan respons dan mengaktifkan kontinjensi stok,” kenangnya.
Sebagai konsorsium, tanggap darurat di Pidie Jaya ini melibatkan beberapa lembaga. Setiap lembaga memiliki keahlian yang berbeda-beda. Semua berkontribusi dalam proses penilaian cepat. Menurut Maman Natawijaya, Program Manager RBHK, “Pembelajaran dari tanggap darurat ini adalah sumber daya manusianya cepat terkumpul. Sehingga kami bisa melakukan penilaian dampak gempa dengan cepat dan melakukan identifikasi langsung pada kebutuhan mendasar yang harus dibantu untuk para korban bencana.”
RBHK juga melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan, Puskesmas dan Posko Pusat, Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), terkait dengan program air dan sanitasi. Dari beberapa lembaga, hanya RBHK yang fokus pada isu air dan sanitasi. Sementara lembaga lain fokus pada perlindungan anak, makanan, dan hygine kit. Koordinasi penting dilakukan agar semua lembaga yang bekerja di daerah bencana bisa berbagi peran dalam membantu pemerintah daerah melakukan respons kebencanaan.
Pada awal tanggap darurat, RBHK melakukan penilaian cepat di daerah bencana. Intervensi awal adalah mendistribusikan barang-barang non-makanan seperti terpal, sarung, dan perlengkapan kebersihan. Selain itu, ada juga intervensi air dan sanitasi serta keamanan pangan darurat dan mata pencaharian yang rentan atau EFSVL (Emergency Food Security dan Vulnerable Livelihood). Dalam hal EFSVL, tim melakukan penilaian pasar lokal apakah pasar kembali bekerja setelah bencana. Penilaian ini diperlukan RBHK untuk proses pengadaan peralatan kebersihan, perlengkapan kebersihan, alat pertukangan, dan terpal dari pasar lokal.
Bertutur Lokal dan Pendekatan Baik
Bagi beberapa anggota tim RBHK, gempa ini adalah respons yang kedua setelah berkiprah juga dalam tanggap darurat tsunami besar pada 2014. Seperti Eko, tidak sulit baginya untuk menyesuaikan diri dengan konteks lokal Aceh. Selama respons, Eko lebih sering menggunakan Bahasa Aceh daripada Bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan masyarakat yang terdampak.
Selain itu pendekatan informal juga penting dilakukan seperti bincang-bincang dan minum kopi. “Penerimaan masyarakat baik, karena kita tahu apa yang boleh dan tidak boleh di masyarakat,” kata Eko. “Selain itu, kita juga tidak pernah menjanjikan apa pun kepada mereka,” tambah Eko.
Sementara bagi anggota tim RBHK yang tidak menguasai bahasa lokal seperti Eko, dengan melakukan pendekatan dengan sikap baik, masyarakat pun baik menerima keberadaan pendatang di kota mereka. Misalnya Ismail Marzuki, staf PKPA, “Saya bukan orang Aceh dan tidak menguasai Bahasa Aceh. Namun saya belajar budaya orang setempat sehingga tahu bagaimana seharusnya bersikap. Alhasil, saya dan teman-teman diterima dengan baik oleh masyarakat. Kami selalu diundang jika ada acara-acara besar di desa,” katanya.
Tantangan dan Capaian
Dalam proses pelaksanaan respons ini, ada juga tantangan yang harus dihadapi oleh RBHK. Misalnya data-data masyarakat terdampak atau calon penerima manfaat, RBHK membutuhkan waktu yang cukup lama karena harus mengambil data secara manual ke masyarakat karena tidak adanya data yang termutakhir. Selain itu, karena tidak adanya mitra lokal di Pidie Jaya, RBHK dan Oxfam harus melakukan banyak waktu untuk pengaturan di awal untuk posko di kabupaten ini. Konsorsium dan Oxfam juga terdiri dari banyak lembaga dan kepala, sehingga cukup menantang ketika harus membuat keputusan bersama.
Meskipun demikian, sampai dengan tulisan ini dibuat, RBHK yang didukung oleh Oxfam di Indonesia telah berhasil mendistribusikan bantuan berupa terpal sebanyak 400 buah, hygiene kit sebanyak 250 paket, dan sarung sebanyak 250 buah. Bantuan ini dibagikan ke lima desa dampingan yaitu Desa Kuta Pangwa, Gampong Tuha, Pulo Blang, Parucot, dan Lancang paru.
Sartika, salah seorang warga terdampak dari Desa Kuta Pangwa, bertutur bahwa dia senang dengan bantuan yang diberikan oleh RBHK pada saat tanggap darurat.
“Terpal yang kami terima dapat digunakan untuk perlindungan sementara bagi saya dan keluarga sementara menunggu rumah semi permanen bantuan dari pemerintah selesai dibangun,” ungkapnya sambil tersenyum. Ismail bersama tim RBHK lainnya melakukan penilaian, pendataan jumlah korban, dan melakukan koordinasi dengan lembaga lain agar bantuan yang diberikan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan agar tidak terjadi tumpang tindih. “Kami juga sudah bisa membagikan barang-barang dari gudang KKSP ini seminggu setelah RBHK berada di Pidie Jaya,” tambah Ismail. Hal ini memungkinkan karena Oxfam di Indonesia juga memiliki gudang-gudang kontinjensi stok untuk tanggap darurat di beberapa kota dan menyebar di seluruh Indonesia.