Terletak di antara perbukitan Sembalun yang megah dan pesisir pantai, Desa Obel-Obel, Belanting, dan Darakunci di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat kerap dilanda curah hujan dan banjir besar yang berasal dari Sembalun. Air hujan yang mengalir deras, dengan cepat mengalir ke laut, melewati pedesaan dan meninggalkan jejak kehancuran. Hujan deras seringkali mengingatkan masyarakat akan masa-masa banjir yang sangat mengkhawatirkan yang terjadi pada tahun 2005-2006, ketika banjir melanda desa-desa, membawa pepohonan dan bebatuan yang menghancurkan rumah serta fasilitas umum di desa-desat tersebut.
Melalui Focus Group Discussion (FGD) mendalam yang melibatkan perwakilan masyarakat, pemerintah, dan masyarakat sipil, program I CAN ACT memberikan harapan kepada masyarakat untuk terhindar dari bencana. Proyek ini diperkenalkan untuk memberdayakan masyarakat, meningkatkan keterampilan antisipatif mereka, khususnya dalam memperkuat Sistem Peringatan Dini (Early Warning System).
Namun terdapat beberapa tantangan yang muncul dalam proyek ini, terutama dalam memperoleh data yang diperlukan mengenai curah hujan di tingkat desa. Hal ini terjadi karena data curah hujan harian yang dikeluarkan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia) hanya mencakup tingkat kabupaten, sedangkan metode tindakan antisipatifnya melibatkan pendekatan dan lokasi yang sangat spesifik, hingga tingkat desa. Oleh karena itu, kolaborasi antara BMKG, pemerintah desa, dan Tim Siaga Bencana di tingkat desa menjadi sangat penting untuk mengatasi keterbatasan/tantangan terkait informasi cuaca.
Setelah serangkaian sesi diskusi dan konsultasi dengan seluruh pemangku kepentingan, tim proyek I CAN ACT terinspirasi untuk memasang Ombrometer, alat pengukur hujan sederhana namun efektif, yang berfungsi sebagai bantuan dalam melengkapi informasi curah hujan dan memvalidasi data yang disediakan oleh BMKG mengenai curah hujan di tingkat desa. Data curah hujan ini bukan sekadar angka di selembar kertas; data ini adalah jantung dari upaya kesiapsiagaan mereka. Data ini digunakan warga sebagai indikator yang memberi sinyal kapan tindakan pencegahan harus diambil, terutama ketika curah hujan melebihi ambang batas kritis.
Wiranto, anggota tim siaga bencana Desa Belanting yang berdedikasi, menguraikan strategi mereka secara ringkas: ketika curah hujan mencapai angka 100 mm dalam waktu 24 jam, tim akan langsung bertindak, masing-masing anggota melaksanakan tugas yang telah ditentukan.
“Tindakan antisipatif adalah melakukan tindakan sebelum terjadinya bencana dengan melakukan pemantauan kondisi cuaca dan curah hujan, memanfaatkan informasi dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia), dan alat Ombrometer (alat pengukur hujan sederhana) yang kami miliki telah dikembangkan melalui kerja sama dengan KONSEPSI dan BMKG. Alat ini dapat secara efektif digunakan untuk mengamati dan mengukur curah hujan lokal di tingkat desa, yang berguna dalam mendukung sistem peringatan dini untuk tindakan antisipatif banjir,” ujar Wiranto.
Melalui semangat kolaboratif Oxfam Australia, Oxfam di Indonesia, dan KONSEPSI NTB, proyek I CAN ACT (Improving Community Anticipatory Action) telah memberikan contoh Aksi Antisipatif Banjir yang proaktif, yang bertujuan untuk mengatasi ancaman hidrometeorologi, khususnya ancaman banjir yang akan terjadi.
Penulis: Leoni Agitha, Project Officer I CAN ACT
Disunting oleh: Nabilla Rahmani (MEDCOM)
““Tindakan antisipatif adalah melakukan tindakan sebelum terjadinya bencana dengan melakukan pemantauan kondisi cuaca dan curah hujan, memanfaatkan informasi dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia), dan alat Ombrometer (alat pengukur hujan sederhana) yang kami miliki telah dikembangkan melalui kerja sama dengan KONSEPSI dan BMKG. Alat ini dapat secara efektif digunakan untuk mengamati dan mengukur curah hujan lokal di tingkat desa, yang berguna dalam mendukung sistem peringatan dini untuk tindakan antisipatif banjir."”