Mama Rita, Mengubah Stigma Perlindungan Perempuan
Di Desa Ajaobaki, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), keterlibatan perempuan sudah dimulai dari konteks agama dan kerohanian, dalam hal ini kegiatan-kegiatan di gereja. Mama-mama Ajaobaki, yang mayoritas beragama Kristen Protestan, aktif dalam mendukung berbagai aktivitas gereja, termasuk mendukung kegiatan yang melibatkan perempuan dan anak-anak muda.
Namun, Mama Rita merasa perempuan juga perlu memiliki keterlibatan dalam konteks pemerintahan. Hal ini yang mendorong dirinya untuk maju dan akhirnya terpilih menjadi Kepala Dusun perempuan pertama di desa tersebut.
Melalui perannya sebagai Kepala Dusun, Mama Rita juga mendapatkan akses untuk lebih terpapar pada program-program pemerintah, serta kesempatan dalam pengambilan keputusan yang memberikan dampak yang penting bagi perlindungan dan pemberdayaan perempuan di desanya. Mama Rita pun terpilih menjadi ketua Jaringan Peduli Masalah Perempuan (JPMP) dan salah satu anggota dari 8 orang satgas Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di desanya.
“Sejak Satgas KBG ini dibentuk, memang masih ada masyarakat yang kurang paham akan fungsinya. Awalnya kami disindir karena setelah ada Satgas KBG, kok malah makin banyak kasus yang muncul? Padahal semakin banyak orang melapor adanya tindak kekerasan atau KDRT di lingkungannya, itu artinya semakin banyak orang yang sadar akan haknya. Jadi tidak heran kalau semakin banyak orang yang melapor.” Ujar Mama Rita.
Hal ini juga diamini oleh Kepala Desa Ajaobaki, Bapak Obed Kase, yang merasakan adanya perubahan yang terjadi secara signifikan ketika Satgas KBG ini dibentuk dan mendapatkan pelatihan paralegal dari Konsorsium Timor Adil dan Setara dalam proyek Indonesian Women in Leadership (I-WIL). “Dulu sebelum saya jadi Kepala Desa, orang sering menakut-nakuti keberadaan JPMP, mereka menganggap bahwa kalau kita sudah berurusan dengan JPMP, artinya kita akan dibawa ke penjara. Padahal kehadiran JPMP dalam binaan Konsorsium ini sangat berguna untuk melatih masyarakat untuk bisa memilah kasus mana yang harus dibawa ke hukum dan kasus mana yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Tidak semua kasus bisa diselesaikan secara hukum, dan tidak semua kasus bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Maka dari itu, semakin banyak orang yang dilatih, semakin banyak kasus di desa yang bisa ditekan”.