Belajar Bangkit dari Petani Garam Pantai Talise

Petani Garam Pantai Talise. Photo credit: Degina Adenessa/JMK-Oxfam
Oleh: Degina Adenessa, JMK-Oxfam
Sore itu, langit Talise terlihat biru cerah, terik matahari yang pertama kali terasa. Hawa panas perlahan kemudian menerpa wajah. Terlihat beberapa orang melakukan aktivitas tambak garam. Ada yang membersihkan tambak, menampung air, menyalurkan air ke tambak, ada juga yang tengah beristirahat di pondokan yang terletak di tepi tambak garam.
Tak terkecuali Abdul Majid (41) yang sore itu tengah mengeruk garam di tambak miliknya. Abdul Majid merupakan sosok yang menjadi motor penggerak bangkitnya petani garam di pantai Talise. Sesudah mengeruk garam, Majid duduk di pondokan sembari beristirahat. Dia menarik waktu ke belakang, mengingat kembali apa yang terjadi sebelum tsunami memporak poranda lahan petani pada 28 September 2018 silam.
"Saya menjadi petambak garam sejak 2007, mulai dari petak-petak lahan yang masih disewa, kemudian berhasil menjadi pengepul garam, hingga memiliki lahan sendiri untuk dikelola dan menghasilkan garam untuk dijual," kenang Majid. Roda-roda ekonomi para petani garam kala itu berjalan dengan lancar. Garam-garam yang dihasilkan melimpah. Proses penjualan juga tidak begitu sulit. Sebagian besar hasil tambak dijadikan sebagai produk garam industri untuk pupuk, es balok, dan ikan.
Hingga bencana alam pada 28 September 2018 silam menerpah Palu, Sigi dan Donggala. Gelombang dahsyat tsunami menyapu habis lahan tambak yang mereka dirikan. Mengakibatkan para petani kehilangan tambak garam yang menjadi sumber mata pencaharian. "Kalau diingat waktu itu, Kami hampir putus asa melihat lahan yang sudah hancur," kenangnya.
Majid berkunjung ke tambak garam beberapa hari setelah bencana melihat lahan garam telah rata disapu tsunami, puing-puing berhamburan, belum lagi trauma yang berkecamuk di pikiran. "Tapi saya yakin, ada sebersit harapan untuk kembali menjadi petambak garam ketika JMK-Oxfam masuk di awal tahun 2019, membantu para petambak garam bangkit dari nol baik secara peralatan, dukungan moral, hingga semangat," cerita Majid.
Lanjut Majid, bantuan berupa sekop untuk menggali tanah dan pasir, arko untuk mengangkut pasir, papan untuk mempetak meja kristal (tambak garam), hingga perpipaan untuk mengaliri air menjadi bantuan yang dikucurkan JMK-Oxfam pada saat itu. "Ketika sudah ada bantuan peralatan, kami (petambak garam) hanya sekitar 3 sampai 4 orang saja yang mau kembali bangkit. Kami bergotong royong memperbaiki saluran air untuk digunakan menambak serta memperbaiki tambak masing-masing. Mungkin karena melihat sudah ada tanda-tanda kehidupan lagi di lahan tambak garam, jumlah petani yang mau kembali bangkit bertambah menjadi puluhan."
Hingga saat ini, petambak garam aktif sudah berjumlah 160 orang yang mana ratusan petambak tersebut dalam fase lll pemulihan pasca bencana akan dibina untuk meningkatkan produksi garam baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini berkaitan dengan program JMK-Oxfam dalam membangun ketangguhan ekonomi.
Program pembinaan teknologi geomembran dipilih JMK-Oxfam melalui sektor Livelihood. Geomembran sendiri merupakan salah satu teknik pencegahan pencemaran yang dinilai berpengaruh terhadap garam yang dihasilkan nantinya. Di mana semakin bersih air yang diolah menjadi garam, maka semakin baik garam yang akan dihasilkan.
"Saya ingat, di bulan Januari 2020 kemarin kami para petambak ini diperkenalkan dengan geomembran ini. Kami diberi pemahaman dan dibina oleh JMK-Oxfam tentang apa itu metode geomembran untuk produksi garam," tutunya. Teknologi geomembran sendiri telah diterapkan para petambak garam Talise sejak Januari 2020. Di saat itu, Majid berpendapat bahwa terdapat perubahan yang baik terhadap produksi garam para petambak baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
"Sebelum memasang geomembran, biasanya kami menghasilkan garam sekitar 200 kilo dengan jangka waktu panen per 4 hari dari luas lahan tambak sekitar 10*8 meter. Sesudah memasang geomembran bisa menghasilkan 400 kilo-600 kilo dengan jangka waktu dan luas lahan tambak yang sama dengan sebelumnya. Perbandingannya lebih dua kali lipat," papar Majid. Secara kualitas, para petambak meyakini hasil produksi garam menggunakan metode geomembran jauh lebih baik dibanding menggunakan cara konvensional.
"Secara kualitas, hasil garam lebih bagus dibanding menggunakan cara tradisional. Dulu kami tidak pakai pengalas untuk kristal garam, sekarang kita memberikan alas jadi hasil panen tidak bercampur ke tanah. Hasil garam kami saat ini jauh lebih putih, proses kristalisasi garam lebih cepat," jelas Majid.