Kita semua tahu dan sepakat: dunia sedang dilanda krisis yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Roda perekonomian nyaris berhenti, pergerakan manusia terpaksa dikurangi secara drastis. Pandemi Corona yang kini telah menyebar hampir ke seluruh bagian di dunia telah memberi dampak kepada siapa pun; tak kenal suku, agama, ras, adat, maupun kelas.
Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menghambat dan mengurangi risiko penyebaran virus corona. Pemerintah Indonesia telah menetapkan aturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sejak bulan Maret lalu. Harapannya, mengurangi mobilitas warga dapat meminimalisir risiko penyebaran virus. Sebagian kita mungkin tengah menikmati ‘kemewahan’ bekerja di rumah, menjaga diri dan keluarga untuk tidak pergi ke luar rumah karena segala bentuk pekerjaan dapat diselesaikan di ruangan pribadi masing-masing. Namun, apakah kemewahan ini dimiliki setiap orang? Apakah pilihan untuk mengurangi risiko terpapar virus dapat diambil oleh seluruh lapisan masyarakat? Apakah akses terhadap fasilitas dan dukungan kesehatan sudah terjamin dapat dijangkau oleh setiap orang tak terkecuali?
Sayangnya tidak.
Masih begitu banyak orang yang berisiko terpapar virus; ia harus pergi keluar rumah setiap hari untuk bekerja karena dirinya bergantung pada penghasilan harian. Banyak orang, bahkan dunia, mulai hilang harapan. Di tengah keputusasaan itu, harapan baru pun muncul: vaksin corona kini sedang dalam proses pengembangan. Para negara ‘besar nan maju’ pun berlomba-lomba menemukan vaksin paling mujarab dan mutakhir. Amerika Serikat, Cina serta Eropa saling berpacu untuk menjadi yang pertama menciptakan vaksin corona. Tak main-main, Cina mengerahkan seribu peneliti ulung untuk kejar target penemuan vaksin. Sedangkan Trump sudah begitu gaduh di setiap pertemuan untuk memastikan bahwa vaksin corona pertama dan mujarab harus diproduksi di Amerika Serikat agar negaranya dapat mengontrol suplai vaksin.
Mungkin, karya penciptaan vaksin ini terdengar seperti harapan. Namun, di balik itu, ada kenyataan pahit yang mau tak mau harus ditelan: vaksin baru yang tercipta berpotensi kehabisan stok begitu cepat sebab negara pencipta akan memastikan warganya menjadi yang pertama mendapat akses terhadap vaksin. Bukannya mengedepankan akses terhadap vaksin yang didistribusikan dan diakses secara adil, banyak elit yang melihat pengembangan vaksin sebagai kompetisi global demi kepentingan politiknya.
Padahal, di seluruh dunia, setidaknya 3,7 miliar orang tercekik jerat kemiskinan. Jangankan mengakses untuk mengakses vaksin dan fasilitas kesehatan lainya, kelompok masyarakat miskin dan renta harus bertahan hidup hanya dengan uang Rp 35 ribu per hari. Akibat pandemi ini, sebanyak 230 juta penduduk di Asia Selatan dan 60 juta penduduk di Asia Timur dan Pasifik berisiko kian terjerumus dalam bayang kemiskinan; menggantungkan hidupnya hanya pada uang sebesar Rp 30 ribu per hari.
Jika miliaran manusia masih kesulitan hanya untuk sekadar bertahan hidup, bagaimana mungkin mereka masih harus kembali mengeluarkan uang untuk membeli vaksin corona? Bukankah ini ketidakadilan yang tak hanya menyakitkan tapi juga mematikan?
Gates Foundation memperkirakan biaya pengadaan dan distribusi vaksin secara efektif dan aman bagi kelompok miskin dan rentan di seluruh dunia akan memakan biaya Rp 372,2 biliun. Sekilas, angka ini terdengar begitu besar. Padahal, jika dibandingkan dengan keuntungan dan pendapatan empat perusahaan farmasi besar dunia yang mampu menghasilkan Rp 1,4 biliar dalam empat bulan saja, biaya pengadaan vaksin tidaklah seberapa.
Idealnya, vaksin diproduksi dan dihargai tak lebih dari dua dolar AS atau setara Rp 30 ribu per dosis. Harga rendah ini bukanlah hal yang tidak mungkin. Pneunomia, pembunuh terbesar anak-anak di bawah usia lima tahun dan memakan korban setidaknya dua ribu anak setiap harinya, dapat ditangani dengan kehadiran vaksin seharga dua dolar AS.
Berkaca pada kesuksesan tersebut, sudah seharusnya vaksin corona mampu diciptakan dan dipatok dengan harga serendah-rendahnya serta diberikan secara gratis tanpa biaya apapun bagi mereka yang tak mampu dan sungguh membutuhkan.
Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah menganggarkan sebanyak Rp 400 triliun dengan porsi 110 triliiun untuk perlindungan sosial dan secara khusus mengalokasikan Rp 92 triliun untuk sektor kesehatan yang secara langsung berhubungan untuk penanganan virus, seperti pembelian alat tes dan vaksin salah satunya. Angka ini sesungguhnya tak berbeda jauh dengan Amerika Serikat dan Inggris yang mengalokasikan dana sekitar Rp 96 triliun untuk penanganan wabah. Sayangnya, alokasi anggaran ini masih dirasa belum benar-benar cukup untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dalam negeri, terlebih jika harus bersaing dengan negara-negara maju yang memiliki daya beli lebih besar dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan negaranya.
Pandemi ini tak akan pernah mereda jika para negara kaya dan elitis hanya memikirkan kantong dan perutnya sendiri. Kepentingan politik negara masing-masing sudah seharusnya tunduk pada kepentingan global. Masih banyak negara miskin berkembang yang tak mampu memenuhi kebutuhan kesehatan di dalam negerinya sendiri. Masih ada miliaran manusia yang kesulitan bertahan hidup dan mengakses fasilitas kesehatan yang sesungguhnya telah menjadi hak dasarnya.
Sudah sepatutnya seluruh dunia bersatu untuk memperbaiki sistem serta hentikan upaya pengembangan obat-obatan yang begitu buruk karena menempatkan monopoli, keuntungan farmasi dan elit negara di atas kesehatan masyarakat seluruh dunia. Tak hanya itu, komitmen global untuk memastikan distribusi vaksin dilakukan secara adil dan tepat sasaran harus segera dibuat dan dilaksanakan.
Pandemi corona tidak pandang bulu. Ia mampu menyerang siapa pun tanpa kecuali. Karenanya, hak setiap manusia terhadap jaminan hidup sehat dan vaksin demi diri aman dari corona adalah sebuah keniscayaan tanpa kecuali.